Aku masih ingat pagi paling sunyi yang pernah kualami: kabut tipis menggantung di perjalanan menuju ke curug, embun menempel di ujung sepatu, dan suara nafasku sendiri terdengar paling jelas di antara bisik angin. Di momen itu, aku sadar, kadang kita butuh pergi bukan untuk lari, tapi untuk bertemu. Bukan dengan siapa-siapa melainkan dengan diri sendiri.
Perjalanan sering dipahami sebagai foto-foto bagus, itinerary rapih, dan daftar tempat yang “wajib dikunjungi”. Buatku, perjalanan justru tentang jeda: menunda suara ramai dari luar, supaya suara dari dalam bisa didengar. Sendirian, aku belajar memperlambat langkah, menatap sekeliling tanpa buru-buru, dan mengizinkan hati bercerita tanpa aku potong di tengah.
Pergi, Bukan Melarikan Diri
Ada masa ketika kepala penuh dan hati riuh tugas kuliah, ekspektasi orang, juga pertanyaan-pertanyaan yang tak selalu punya jawaban. Waktu itu, aku memutuskan naik mobil bersama teman teman ku ke arah Bogor. Jalanan berkelok, Pemandangan yg hijau menyapa dari kejauhan, dan di satu titik aku berhenti di warung kecil. Segelas teh hangat, pisang goreng, dan obrolan singkat dengan pemilik warung yang menanyakan, “Perjalanan kemana, Teh?”
Aku tersenyum. “Lalu menjawab, pengin denger suara jalan.”
Perjalanan dengan teman yang baru pertama kali membuatku bertanggung jawab atas diriku: memetakan rute, membaca cuaca, mengukur tenaga. Di situ aku belajar kalau kuat itu bukan berarti tak pernah takut, tapi berani melangkah sambil mengakui takutnya. Kuat bukan berarti tak pernah lelah, tapi tahu kapan berhenti, minum, dan bernapas.
Pelajaran Kecil dari Jalan yang Panjang
Di setiap perjalanan, selalu ada hal kecil yang diam-diam mendidik. Menunggu angkutan yang tak kunjung datang mengajarkanku sabar. Tersesat di jalan mengajarkanku bertanya dan menerima bantuan. Gagal mengejar matahari terbit mengajarkanku bahwa keindahan tak selalu datang tepat waktu; kadang justru awan kelabu menghadiahkan langit yang paling puitis.
Aku juga belajar menerima diriku dengan lebih jujur. Ada hari ketika aku cerewet, ada hari ketika aku benar-benar ingin diam. Ada tempat yang membuatku ingin meloncat-loncat saking senangnya, ada tempat yang membuatku ingin duduk lama dan menangis tanpa sebab jelas. Kesendirian membuatku tidak perlu menjelaskan semua itu pada siapa pun. Aku hanya perlu jujur pada diri sendiri, dan itu ternyata cukup.
Sunyi yang Menjernihkan
Di dunia yang serba cepat notif, chat, deadline kesendirian adalah kemewahan yang sering kita abaikan. Saat berjalan di tepi hutan dan hijau hijau an, aku mematikan ponsel selama beberapa jam. Aneh di awal, tapi kemudian melegakan. Tanpa gangguan, aku bisa merasakan tekstur dedaunan dan jalan yg begitu ekstrime, bahkan bau pegunungan yang biasanya tak kuperhatikan. Sunyi bukan musuh; ia adalah kaca bening yang memantulkan siapa kita sebenarnya.
Dalam sunyi itu, aku belajar membedakan mana suara hati dan mana suara takut. Suara hati lembut, ia mengajak. Suara takut keras, ia mendesak. Perjalanan membantuku memilih untuk mengikuti ajakan, bukan desakan.
Tak Perlu Hebat untuk Mulai
Banyak orang menunda pergi karena merasa belum cukup: belum cukup uang, belum cukup waktu, belum cukup berani. Padahal, perjalanan tak selalu berarti jauh atau mahal. Kadang, versi terbaiknya adalah pulang agak awal dari kampus, lalu mampir ke kebun teh atau sekedar duduk di taman sendirian. Duduk, minum air, dan menulis tiga hal yang sedang disyukuri. Itu pun perjalanan perjalanan ke dalam.